Hormatilah Ayah dan Ibumu
”Hormatilah Ayahmu dan Ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”. Ulangan 5:16
Seorang raja Qin Shi Huang terkenal sebagai raja yang tiran, yaitu raja yang kejam dan menindas orang yang menentang pendapatnya. Rakyat hidup dalam keadaan miskin dan sengsara. Pada jaman dinasti Qin itu, ada seorang anak remaja bernama Zhang Liang yang bakti atau ut hao. Zhang Liang biasa dipanggil dengan panggilan ”ru zi”, dalam bahasa mandarin modern disebut Xiao hai zi, artinya anak kecil. Walaupun Zhang Liang masih kecil, namun ia mempunyai cita-cita untuk membebaskan rakyat dari kekuasaan tiran dan membawa rakyat untuk menikmati kehidupan damai, baik hari lewat hari.
Pada saat, ia lelah belajar, ia memutuskan untuk berjalan-jalan dan bermain-main. Dalam perjalanannya itu, tibalah ia di suatu jembatan. Dari kejauhan nampaklah di ujung jembatan, ada seorang kakek tua sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Ketika semakin dekat dengan kakek itu, Zhang Liang melihat bahwa kakek itu terkesan aneh. Baju yang dipakainya banyak yang tambal sulam. Sepatunya pun sudah begitu kusam tak terawat dengan baik. Bahkan tubuh kakek itu sangat kotor. Walau ia merasa enggan berdekatan dengan kakek itu, namun ia tetap seorang anak yang tetap menaruh sopan kepada yang lebih tua. Zhang Liang memberi salam, ”selamat sore kakek”. Setelah ia memberi salam, Zhang Liang segera pergi, karena tak mempunyai kepentingan apa-apa.
Baru beberapa langkah, terdengarlah suara kakek itu berteriak: ”Hai nak, diam di tempat”. Zhang Liang menuruti perintah kakek itu. Zhang Liang melihat sang kakek membuka sepatu yang kusam dengan susah payah. Lalu kakek itu membuang sepatunya ke sungai. Sang kakek berdiri dan berkata: ”Tolong ambilkan sepatu saya itu. Jika saya kembali dari perjalanan, kembalikan kepada saya”. Kakek itu berlalu dari Zhang Liang. Zhang Liang sangat marah mendengar ucapan sang kakek. Dalam hatinya, Zhang Liang berkata: ”Memangnya anda siapa? Anda dan saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dan mengapa memberi perintah seperti itu!”.
Oleh karena Zhang Liang sebagai anak yang berbakti/Ut Hao, sopan, ia tetap mengontrol emosinya. Apalagi si kakek itu sudah tua, Zhang Liang tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak sopan. Zhang Liang segera pergi ke sungai dan mengambilnya untuk dijemur. Setelah kering, sepatu butut itu dibawa Zhang Liang ke kakek itu. Setelah menatap mata Zhang Liang dalam-dalam, kakek itu berkata: ”Pakaikanlah sepatu itu di kaki saya”. Dengan berat hati, ia memasang sepatu butut di kaki kakek. Kakek itu menerimanya tanpa berkata: ”Terima kasih”.
Zhang Liang berkata kepada dirinya: ”Sejak dulu, belum pernah ia berjumpa dengan orang tua yang tidak tahu adat seperti kakek itu”. Setelah berkata demikian, ia pun pergi menuju rumah. Baru saja ia melangkah lagi, sang kakek itu berseru lagi, ”Hai anak kecil, tunggu sebentar”. Kakek tua itu berkata kepada Zhang Liang: ”Saya perhatikan kamu anak yang tahu sopan santun. Kamu dapat mengendalikan dirimu dan sedikitpun kamu tidak mengeluarkan kata-kata marah kepada saya. Saya percaya suatu hari, nanti kamu akan menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan masyarakat. Begini, lima hari lagi, kita ketemu di sini. Saya akan memberikan sesuatu yang sangat penting bagimu”. Kemudian mereka berpisah.
Zhang Liang tidak begitu yakin tentang apa yang dikatakan oleh sang kakek itu, namun ia tetap menghormati sang kakek dan datang untuk bertemu dengannya. Pada saat ia datang di jembatan itu, Zhang Liang terkejut melihat kakek itu sudah datang mendahuluinya. Kakek itu marah: ”Kamu ini, anak yang tidak tahu menepati waktu, kenapa datang terlambat. Kalau begitu hari ini tidak jadi dan datang lima hari lagi ke sini dan ingat, jangan terlambat”.
Lima hari berikutnya, ketika Zhang Liang tiba di jembatan, si kakek itu sudah ada terlebih dahulu. Sang kakek itu marah lagi dan berkata: ”Jika kamu terus begini, kamu tidak akan dapat belajar apapun. Lima hari lagi datang ke sini dan jangan sampai saya mendahului kamu”.
Walau agak kesal, tetapi Zhang Liang tetap diam. Pada hari kelima, ia pergi ke jembatan lebih awal. Kali ini Zhang Liang dapat tersenyum, karena melihat sang kakek datang setelah Zhang Liang. Sang kakek itu bangga dan mengusap-ngusap kepala Zhang Liang dan berkata: ”Kamu sungguh anak yang baik. Mari lihatlah apa yang aku bawa”. Kakek itu mengeluarkan buku tebal dari kantong yang dibawanya dan berkata: ”Saya tahu, kamu anak yang baik. Saya tahu kamu ingin membantu rakyat untuk hidup damai dan sentosa. Oleh sebab itu, saya ingin mendidik kamu. Untuk itu pulang dan bacalah di rumah. Jika kamu sudah menguasainya, maka kamu akan mencapai impianmu untuk menyejahterakan rakyat”.
Ia pulang dengan gembira dan mempelajari buku tersebut. Rupanya buku itu adalah ”Tai Gong Bing Fa”, sebuah buku panduan untuk mengamankan dan menyejahterakan negara. Buku Tai Gong Bing Fa tetap menjadi buku utama oleh para ilmuwan dan para politikus sampai sekarang. Setelah besar, Zhang Liang menjadi seorang tentara yang sangat ahli dan seorang pejabat yang mempunyai banyak kelebihan. Zhang Liang dicintai rakyat, karena ia sungguh berjuang agar rakyat dapat hidup aman, damai dan bahagia.
Pesan dari cerita ini adalah: ”Ru Zi Ke Jiao”, artinya: jadilah anak yang sopan dan berbakti. Pesan cerita ini tentang ”menjadi anak yang sopan dan berbakti” akan kita lihat dalam perspektif tradisi Tionghoa: Imlek, sembahyang leluhur.
Jadilah anak yang sopan dan berbakti dan perspektif pertama, yaitu: tahun baru Imlek. Salah satu tradisi yang ada dalam tahun baru imlek adalah: orang-orang yang lebih muda datang memberi hormat kepada orang yang lebih tua. Dengan kata lain, tidak ada orang yang lebih tua datang ke rumah orang yang lebih muda. Adalah baik dan merupakan keharusan, bila anak-anak menaruh hormat, sopan dan bakti kepada orang tuanya. Mengapa? Sebab orang tua adalah wakil Tuhan untuk memelihara generasi muda atau anak-anak. Orang tua telah melahirkan anak-anak dengan susah payah bahkan menanggung resiko kematian. Orang tua telah merawat dan mendidik anak-anaknya. Orang tua telah memberikan yang terbaik bagi kebutuhan anak-anaknya. Di samping itu ada tradisi yang dipelihara oleh para orang tua secara ekstrim, di mana anak-anak melakukan kui/berlutut di hadapan orang tuanya (saya tidak tahu, apakah saat ini, tradisi itu masih ada?). Harus kita bedakan antara hormat dan menyembah. Anak-anak boleh dan harus menghormati orang tuanya, namun tidak menyembahnya. Hanya satu yang kita sembah yaitu Tuhan Yesus.
Ada kekuatiran dari orang tua, ”kalau anak-anak saya sudah jadi kristen atau percaya kepada Tuhan Yesus, maka anak-anak tidak menghormati saya lagi.” Kekuatiran tersebut muncul, karena perbedaan pemahaman. Para orang tua yang masih mempunyai keyakinan lama (belum kristen), merasa takut kalau dirinya meninggal, maka tidak ada yang sembahyangi dia. Pemahaman demikian, jelas berbeda dan keliru. Firman Tuhan memberi perintah supaya kita menghormati orang tua, ayah ibumu. Melalui hormat kepada orang tua, maka anak-anak mendapat berkat dari orang tua dan Tuhan, yaitu umur panjang dan rejeki. Kita menghormati orang tua pada masa hidupnya dan bukan pada saat meninggal. Memberi makan yang enak pada orang tua pada waktu hidup, dan bukan kalau sudah meninggal. Kita membelikan rumah pada masa hidupnya, bukan rumah-rumahan, ketika orang tua sudah meninggal. Untuk apa kita menyediakan makanan yang enak dan mahal di meja abu (tempat sembahyang) untuk orang tua yang sudah meninggal, sementara selama hidup bersamanya penuh dengan kebencian.
Mungkin orang tua kita yang sudah meninggal mempunyai banyak kesalahan, sehingga muncul luka batin dalam diri anak-anaknya. Harus kita ingat! Orang tua adalah manusia. Sebagai manusia tentunya, orang tua tidak sempurna. Artinya ada kesalahan, sehingga menimbulkan kekecewaan dan sakit hati selama ia menjadi suami bagi istri, menjadi orang tua bagi anak-anak, menjadi mertua bagi menantu, menjadi opa bagi cucu-cucu. Sebaliknya, orang tua yang tidak sempurna, bukan berarti semua jelek dan negatif. Ada kenangan manis dan indah yang telah dilakukannya demi istri, anak-anak, menantu dan cucu. Biarlah yang manis dan indah selama almahum menjadi suami, ayah, mertua dan opa patut diteruskan oleh semua yang masih hidup. Kita belajar menjadi Zhang Liang, walaupun kesal dan dikecewakan oleh sang kakek dalam cerita di atas, namun ia tetap baik, sopan, bakti; sehingga menjadi anak yang sukses. Marilah kita kenang terus apa yang baik dan telah dilakukan oleh almahum selama ia ada di dunia ini.
Sebaliknya, bagi kita saat ini dan dipercayakan oleh Tuhan sebagai orang tua dapat memberi sebuah keteladanan kepada generasi muda: anak, menantu, cucu, supaya mereka menjadi anak yang sopan dan berbakti. Bila kita sudah memberi sebuah keteladanan, maka anak-anak akan terus mengingat keteladanan tersebut walaupun kita sudah meninggal. Bukan semata dengan harta sebagai warisan yang dapat kita berikan kepada generasi muda, karena harta akan lenyap; tetapi berilah warisan keteladanan yang mempunyai nilai-nilai ”abadi”. Tuhan memberkati kita. Amin.
Pdt. Sugiarto Sutanto, M.Min. (2009-01-29)