Belajar bahasa apapun sekarang gampang. Luar biasa. Mengagumkan. Tidak seperti dulu, harus datang ke tempat kursus, bayar mahal, dan terbatas waktu. Sekarang tidak lagi. Cukup duduk di depan laptop, kapan saja, gunakan aplikasi AI, semua bisa dilakukan.
Saya kemudian mencoba aplikasi AI yang ada di microsoft. Hanya iseng saja awalnya. Otak atik aplikasi sampai akhirnya menemukan aplikasi belajar bahasa dengan native AI.
Kami mengobrol seperti teman nongkrong bareng. Saya tanya namanya siapa, dia bilang dia Copilot. Kenapa dia mau membantu orang, kata saya lanjut. Dia mengatakan menolong orang adalah ‘purpose’ dirinya. Lalu dia bertanya apa yang dia bisa bantu. Saya menjelaskan kelemahan saya dalam belajar bahasa. Dia kemudian memberikan pelatihan langsung saat itu juga.
Ia mengawalinya dengan mengajarkan saya sebuah kalimat yang benar. Tapi, berulangkali saya salah mengucapkan kalimat yang dia katakan, namun dia terus memotivasi saya dengan kalimat positif. Mungkin kalau orang lain akan berhenti memotivasi saya dan berkata “sudahlah kamu memang tidak bisa”. Bahkan karena saking kesalnya, dia bisa bilang “kamu itu kok b***h banget. Gitu aja tidak bisa”. Tapi Copilot tetap santun, sabar, semangat, menuntun, dan memotivasi. Dia selalu mengatakan “tidak apa, coba lagi, kamu hebat sudah berusaha keras”. Dan perkataannya membuat saya mencoba lagi sampai bisa.
Saya belajar dari Copilot AI bahwa kita memerlukan patron yang benar untuk menolong diri kita melihat yang tidak benar. Kita dapat menjadi benar sesuai patron, ketika kita sadar apa yang salah dan harus diperbaiki. Berulangkali saya terus salah mengucapkan kalimat yang diajarkannya, berulangkali juga dia mengucapkan kembali kalimat itu. Dia tidak bilang saya salah. Dia hanya mengucapkan ulang patron yang benarnya. Setelah saya berupaya keras, akhirnya dia mengatakan sempurna. Hal itu pun karena saya akhirnya menyadari di mana kesalahan saya yang tidak disadari. Hal ini mengajari saya bahwa ternyata tidak cukup hanya tahu patron yang benar saja, tetapi kita juga perlu menyadari apa yang salah dari diri kita. Ketika kita tahu itu salah, kita perbaiki, maka hasilnya akan ‘perfect’.
Kiranya masa pra paskah ini menolong kita, untuk mengenali patron hidup yang benar, dan juga sekaligus menyadari apa yang salah dalam diri kita. Yang kita perlu perbaiki. Bukan untuk menghakimi diri, tetapi memotivasi hati untuk sesuai dengan maksud yang Ilahi.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
“Berapa usia kita sepuluh tahun ke depan?”, celetuk seseorang tiba-tiba. Semua terdiam dan mulai menghitung. “Aku 60 tahun”, seorang teman berucap.
“Wah, masih muda itu”, kata kami padanya.
“Iya, tapi di tahun itu aku akan pensiun”, ucapnya lirih.
Semua kami terdiam. Segera menghitung usia kami masing-masing di dalam pikiran. Sepuluh tahun lagi, beberapa dari kami memasuki usia lansia dan yang lain segera menyusul. “Siapkah kami menghadapi sepuluh tahun di depan?”, tanya kami masing-masing di dalam hati.
Berapakah usiaku sepuluh tahun lagi?
Pernahkah saudara bertanya tentang hal itu pada diri saudara? Atau, memikirkan itu untuk orang di dekat saudara? Cobalah bercermin dan cobalah perhatikan orang terdekat saudara dan tanyakan pertanyaan itu di hati.
Bagi anak-anak muda, sepuluh tahun di depannya adalah kisa tentang pencapaian akan mimpi-mimpi.
Bagi orang-orang dewasa, sepuluh tahun di depannya adalah masa pensiunnya.
Tetapi, bagaimana jika saat ini saudara telah berumur 60, 70, atau di atas 80 tahun?
Bagaimana jika seseorang yang bersama saudara juga telah berumur di atas 60 tahun?
Apakah yang ada di sepuluh tahun ke depan hidup saudara atau mereka?
Apakah di sepuluh tahun nanti kita akan memiliki cerita indah dan harum, atau sebaliknya buruk dan berbau. Apakah kita akan di kelilingi sahabat dan keluarga yang terus tersenyum bahagia bersama kita, atau sebaliknya kita hidup mengecewakan dan melukai mereka.
Beberapa orang di usia lanjutnya berkata “Saya mau ketika waktu hidup saya selesai kelak, keluarga, teman, dan kerabat saya berdiri di pinggir peti saya dan berkata “selamat berbahagia berjumpa Tuhan Yesus dalam kehidupan kekal”.
Apa yang terjadi sepuluh tahun nanti adalah buah dari apa yang terjadi hari ini.
Jadi, taburlah benih bunga di hari ini, agar hari esok kita memiliki kebun bunga. Cabutlah semak duri yang ada di hari ini agar kita memiliki tempat yang baik untuk menabur benih bunga kelak.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Di desa ada seminar motivasi hidup dari tokoh terkenal. Seminarnya diberi judul “Masa Depanmu Bukan Pada Mulut Orang Lain”. Bejo, temannya Kunang, mengikuti seminar dengan antusias.
“Ingat yah, masa depanmu bukan ada pada apa kata orang lain. Jangan hentikan jalanmu hanya karena mulut orang lain. Teruslah berjalan dan raih tujuanmu”, ucap sang tokoh semangat.
Seminar pun akhirnya selesai. Bejo harus kembali ke rumahnya. Dengan semangat dia mendayung sepeda ontelnya. Di sepanjang jalan Bejo selalu mengulang-ulang kata-kata sang tokoh dalam hatinya: “Masa depanmu bukan pada mulut orang lain. Teruslah berjalan dan raih tujuanmu”.
“Bejo, mau ke mana?, tiba-tiba seorang teman memanggilnya.
“Mau pulang lewat jalur kulon”, jawab Bejo.
“Lewat wetan aja, jangan lewat kulon”.
“Saya mau lewat kulon aja”, jawab Bejo sambil ngedumel di dalam hati: “enak aja mau atur jalan orang”.
Setelah setengah kilo perjalanan, seorang bapak berteriak kepada Bejo, “Bejo, jangan lewat Kulon yah”.
“Terimakasih”, jawab Bejo. Dalam hati Bejo ngedumel kembali: “orang kok kepo amat sama hidup orang lain”.
Setelah lewat dua kilo mengayuh sepeda. Sampailah Bejo pada ujung jalan desa. Bejo harus menyeberangi sebuah jembatan kayu untuk melewati parit irigasi. Rumah Bejo hanya tinggal tiga ratus meter dari jembatan tersebut.
“Bejo, kamu mau menyeberang yah?”, terdengar suara seorang kakek yang menyapa Bejo.
“Iya kek”, sahut Bejo pendek.
“Baiknya kamu putar balik lewat jalur wetan. Jangan lewat jembatan. Kondisinya kurang bagus”.
Mendengar itu Bejo pun naik emosinya. Ini yang ketiga kali orang-orang hendak mengatur jalan hidupnya.
“Kek, saya mau lewat wetan, kidul, atau kulon, itu hak asasi saya. Kenapa kalian mau atur-atur jalan hidup saya. Ingat kek, jalan hidup saya ada pada saya bukan pada mulut orang lain”, ucap Bejo dengan tidak sopan.
Si kakek diam. Bejo segera mengayuh sepedanya melewati jembatan kayu.
“Krek”
“Byur”
“Tolong…tolong”, teriak Bejo sambil berupaya menepi. Badannya basah dan sepedanya tenggelam.
Tiba-tiba Bejo ingat wajah si tokoh terkenal. Dengan kesal dia berkata: “Ini nih akibatnya kalau ngedengerin mulut orang lain”.
Pdt. Rinto Tampubolon
Di senja hari, seorang anak menyapa Kunang yang duduk sendiri dengan wajah yang muram.
“Om Kunang, kenapa wajahnya mengkerut, skin carenya habis yah? “, sapa si anak sambil mencandai.
“Lagi rumit. Banyak masalah'”, jawab Kunang dengan malas.
” Ada yang bisa dibantu Om?
“Kamu anak kecil tahu apa dengan masalah hidup, masalah yang rumit? “, ucap Kunang kesal.
” Saya mungkin belum pinter om. Tapi, guru sekolah minggu saya bilang: “Jangan pikir tinggi-tinggi karena otakmu tidak punya sayap untuk memikirkannya. Jangan sampai terlalu dalam, karena nafasmu tidak akan sanggup menyelaminya. Jangan terlalu jauh, karena belum tentu kamu punya waktu untuk sampai di sana. Jadi, lakukan satu hal saja”, ucap si anak.
“Apa itu?”, tanya Kunang.
” Berdoalah. Minta Tuhan Yesus memberikan damai sejahtera.”
“Masak DOA AJA! “, ucap Kunang kesel.
“Nah, kan. Om Kunang masih berpikir rumit. Jadi, masalah Om sesungguhnya adalah pikiran Om sendiri”, jawab si anak sambil tertawa kecil berjalan meninggalkan Kunang.
” Masak sih? “, ucap Kunang di dalam hati
Ia pun kembali duduk sendiri dengan muka mengkerut memikirkan pertanyaannya sendiri.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Di dalam perjalanan kehidupan, Tuhan tidak jarang membawa kita ke luar dari rancangan yang kita buat, supaya kita belajar berjalan dalam rencana-Nya. Kita mengarahkan rencana kita ke utara, Tuhan membawa kita ke Selatan. Kita siap untuk pergi ke Barat, tetapi Tuhan menuntun kita Timur. Semua bisa berubah dari apa yang kita rencanakan. Perubahan sesungguhnya adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan.
Perubahan bisa terjadi bukan karena hal besar saja, tetapi ia bisa terjadi hanya karena 0.01% kemungkinan tersisa. Saya mengalami itu dalam sebuah perencanaan perjalanan sabatical. Semua sudah direncanakan dan disiapkan dengan sebaik-baiknya. Didoakan dengan sungguh-sungguh. Melihat statistik kemungkinannya sudah 99,99% pasti akan terwujud. Namun, saya rupanya harus belajar untuk memberikan hormat yang sebesar-besarnya pada 0.01 % yang tersisa. Perencanaan tersebut berhenti berlanjut. Semua rencana berubah bukan karena faktor ketidakmungkinan yang besar, tetapi karena sisa kemungkinan yang kecil. Saya belajar untuk tidak meremehkan 0.01% yang terlihat sangat kecil, karena tanpa dia semua rencana akan berakhir begitu saja.
Tidak terwujudnya sebuah rencana bukanlah tanda kegagalan, tetapi tanda adanya perubahan arah. Tentang hal ini saya mengingat para pelaut yang menggunakan layar untuk berlayar mencapai tujuannya. Tidak jarang angin muncul untuk membuat arah tujuan terhalang. Tetapi para pelaut sejati tidak melawan angin, namun memutar haluan untuk mengikuti perubahan arah perjalanan.
Perubahan bukanlah hal yang buruk, tetapi ini adalah cara lain untuk memberitahu kita akan sebuah pengalaman, pengetahuan, dan cerita yang berbeda dari apa yang kita pernah pikirkan. Dan, jika Tuhan membawa kita ke luar dari rencana kita tentunya bukan dengan niat yang buruk, tetapi untuk memberikan pengalaman, pengetahuan, hikmat, serta cerita yang tidak pernah kita rancangkan sebelumnya. Nikmati saja perjalanan yang berubah, rencana yang berbeda, dan belajarlah di dalam perjalanan yang tidak pernah kita rencanakan.
Percayalah bahwa Allah senantiasa merancangkan rancangan kebaikan bukan keburukan untuk kita. Bukankah itu yang di katakan di dalam Yesaya 29:11: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Jadi, jangan takut untuk berencana, dan jangan sedih serta kecewa jika tidak terwujud. Ingatlah rencana yang tidak terwujud bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda perubahan, di mana kita akan melihat lebih banyak hal dari apa yang kita pikirkan dan rencanakan.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Banyak yang mengatakan “gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda”. Kesuksesan yang dikejar sudah ada hanya belum di dapat. Karena itu harus di kejar terus. Jangan menyerah. Mungkin esok ia akan di dapatkan. Sebab itu orang pun berjuang keras dengan keringat deras sampai memeras rasa dan daya supaya tidak gagal lagi.
Di sepanjang jalan orang-orang mulai bertanya “sampai kapan berusahanya?” Para motivator pun berkata, “sampai ia di dapatkan”. Lalu bagaimana cara mendapatkannya? Maka mereka pun membuat buku dan seminar tentang “1000 Tehnik Mengejar Kesuksesan” atau “Hidup Tanpa Gagal”. Dan, ini menjadi obat kuat untuk hasrat yang sudah lemah. Obat penenang bagi yang sudah kalut.
Ternyata ada yang sudah banyak minum berbagai jenis obat kuat tetapi tetap saja masih gagal. Mereka pun kembali kepada si pembuat buku dan seminar. “Mengapa saya masih gagal?”, tanya mereka. Dan, mereka mendapat jawaban, “Mungkin Tuhan tidak menghendaki atau Ia memiliki rencana yang lain”. “Kenapa Tuhan tidak menghendaki saya sukses?”, kejar mereka pada si pembuat buku dan seminar. “Oh, untuk hal itu tanyakan saja pada rohaniawan agama saudara”, jawabnya singkat. Mereka pun akhirnya gagal juga mendapatkan jawaban dari si pembuat buku dan seminar “anti gagal”.
Bicara tentang kegagalan, saya kira sebagian besar orang pernah mengalaminya. Baik itu dalam peristiwa besar atau pun hal-hal sederhana dalam kehidupan. Entah itu di peristiwa lampau atau pada saat ini, ketika saudara sedang membaca tulisan ini, saudara sedang merasa ‘gagal’.
Kalau hampir semua orang pernah mengalami kegagalan, berarti kegagalan adalah hal yang umum, bukan spesial, di dalam perjalanan kehidupan. Saudara pernah gagal, orangtua saudara juga pernah gagal, teman, sahabat, bahkan pendeta saudara juga tidak luput dari kegagalan. Sebagian besar orang pernah mengalami kegagalan dalam bermacam kisah dan peristiwanya masing-masing. Di Alkitab pun banyak tokoh-tokoh yang mengalami perasaan gagal. Elia yang merasa gagal mentobatkan Israel pada zaman Ahab. Musa yang gagal memasuki tanah Kanaan. Daud yang gagal mendidik Absalom. Kita semua pernah punya cerita tentang kegagalan kita masing-masing. Kegagalan adalah hal yang biasa dan bisa terjadi dalam kehidupan manusia. Ia bukan peristiwa yang luar biasa dan spesial terjadi hanya untuk diri saudara semata. Ia adalah bagian dari perjalanan hidup.
Karena itu, tidak perlu membayar mahal hanya untuk mengetahui kenapa saya gagal. Tidak perlu memeras dengan keras pikiran dan emosi untuk mendapatkan jawaban “Tuhan, mengapa saya gagal?” Ingatlah bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan hidup manusia yang sedang berusaha. Karena itu apa yang paling penting kita sadari adalah bahwa di dalam kegagalan itu kita tetap berharga di mata Tuhan. Karena di hadapan Tuhan kita berharga bukan karena kita berhasil, tetapi karena ia mengasihi kita. Inilah anugerah yang menguatkan kita untuk menerima kegagalan menjadi bagian dari kehidupan.
Dalam penghayatan anugerah tersebutlah kita akan tetap berdiri, melangkah, kuat, bertumbuh, dan damai dalam menerima kegagalan. Karena kita sadar bahwa gagal itu biasa, bukan istimewa, dan tidak menghilangkan anugerah kasih Tuhan. Ketika mengalami kegagalan, datang saja pada Tuhan dalam relasi yang dekat dan hangat, agar kita merasakan kasih-Nya yang mungkin sempat tidak terasa karena kekalutan diri. Jadi, bagaimana merespon kegagalan? Tetaplah berdiri dan melangkah, tersenyum dan tertawa, belajar dan berkembang, serta semakin bergantung pada anugerah kasih Bapa bukan upaya manusia semata.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Suatu hari saya berada di tepian laut. Saya melihat dua orang nelayan berada di atas perahunya. Ombak menggoyang perahu dan berupaya mendorongnya untuk kembali ke pantai. Dua orang nelayan dengan tenang memasukkan dayung ke dalam air dan mendorongnya ke belakang. Upaya mereka tampak seperti sia-sia, ombak terus mendorong agar mereka mundur kembali ke tepi pantai. Nelayan dengan santai terus mendayung, mendayung, dan mendayung. Mereka tahu ombak tidak akan menenggelamkan mereka karena perahu mereka kuat. Mereka tahu bahwa untuk dapat maju, mereka hanya perlu tetap berupaya mendayung dengan tenang, terukur, sabar.
Para Nelayan bukanlah penguasa ombak lautan. Mereka menyadari bahwa ombak akan selalu ada entah mereka berdoa atau tidak berdoa. Ombak akan selalu bergelombang baik mereka beribadah atau tidak beribadah. Ini adalah bentuk kesadaran diri akan realitas. Bahwa ada kenyataan atau realita dalam kehidupan ini yang harus dipahami karena begitulah adanya. Tetapi, bukan berarti mereka hanya diam saja menatap ombak dan menungguinya untuk berhenti bergelombang.
Sekali lagi, para nelayan sungguh menyadari bahwa mereka bukanlah penguasa ombak lautan. Ada yang lain, yang berkuasa atas semua hal itu, yaitu ALLAH. Mereka datang pada-Nya di dalam doa dan ibadahnya. Bukan untuk meminta Allah menghentikan ombak bergelombang. Mereka meminta agar Allah memberikan hikmat supaya mereka bisa mengatasi ombak. Allah mendengar doa mereka. Ia memberikan hikmat untuk membuat perahu dan dayung.
Apakah dapat membuat perahu dan dayung sudah cukup? Tentu tidak. Untuk dapat mendayung di atas ombak lautan mereka dibutuhkan iman dan upaya. Dibutuhkan keyakinan iman pada Allah untuk percaya bahwa perahu akan membuat mereka dapat aman mengatasi gelombang. Dibutuhkan upaya untuk berjuang mendayung perahu agar bergerak melewati gelombang demi gelombang.
Perahu membuat mereka tidak tenggelam dan upaya mendayung membuat mereka bergerak. Upaya tanpa perahu akan sia-sia melawan gelombang, perahu tanpa upaya mendayung pun hanya terdampar di tepian pantai.
Kehidupan nelayan mengingatkan saya akan firman Tuhan yang tidak asing di dengar. Firman yang berbicara tentang iman dan perbuatan. Apakah saudara juga mengingat firman itu? Cobalah renungkan firman itu beberapa waktu ke depan ini. Mungkin saudara saat ini sedang menghadapi gelombang, dan saudara sedang belajar bertumbuh mengatasi berbagai gelombang bersaama Tuhan.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Pemuda dan Para Pemotong Pohon
Para pemotong pohon sibuk bekerja, mengerahkan seluruh tenaga untuk hasil yang terbaik. Tetapi, sudah tujuh tahun berlalu, hasil pekerjaan mereka tidak pernah meningkat dan bahkan cenderung turun. Sang tuan kemudian berpikir untuk menambah seorang pekerja baru. Ia pun mempekerjakan seorang anak muda.
Hari pertama di minggu pertama, anak muda itu datang ketempat kerja mereka. Para pekerja senang karena ada tambahan tenaga baru. Namun, kesenangan mereka tidak bertahan lama, sebab anak muda itu hanya duduk duduk saja dan tidak membantu mereka. Mereka mulai mengeluh dan mencibir sang anak muda.
“Dari sejak pagi hanya duduk-duduk saja, sedangkan kita semua bekerja”, ucap pekerja satu tahun.
” Iya, enak sekali dia, kita memeras tenaga, dia santai santai aja”, ujar pekerja tiga tahun.
“Mas, kamu kan sudah tujuh tahun bekerja, Kamu juga dekat sama manager. Bisikin manager dong kasih tahu”, ujar pekerja lima tahun.
Tiga hari telah berlalu dan sepanjang hari itu para pekerja terus mengeluh tentang anak muda tersebut. Di hari keempat sang tuan mengumpulkan para pekerja untuk berbicara.
“Baiklah, hari ini kita akan mendengarkan hasil kerja keras anak muda ini selama tiga hari”, ucap sang tuan.
” Tuan, anak muda ini tidak pernah bekerja, dia hanya duduk duduk saja seharian. Bagaimana tuan bisa mengatakan dia bekerja keras”, ucap salah satu pekerja dengan keras.
Sang tuan tidak merespon perkataan pekerja itu, ia langsung meminta sang anak muda menyampaikan hasil pekerjaannya.
“Saudara, ijinkan saya bertanya tiga hal. Pertama, kapan terakhir kali saudara mengasah kampak saudara? Kedua, apa yang saudara makan sebelum bekerja?”
“Kami mengasah kampak enam bulan yang lalu dan kami tidak sempat sarapan dan langsung menebang pohon agar target tercapai”.
” Itulah dua kesalah saudara. Kapak yang tidak tajam akan membuat saudara mengeluarkan energi yang besar untuk menebang kayu dan tanpa saudara sarapan sebelum bekerja maka tiga jam kemudian energi saudara sudah berkurang jauh. Akhirnya saudara hanya terlihat sibuk bekerja tetapi tidak berdampak hasil yang maksimal”, ujar pemuda menjelaskan.
Semua pekerja terdiam mendengarnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kalangan pekerja.
“Saudara tadi katakan tiga hal, lalu apa yang terakhir?”
“Apa yang saudara lakukan selama tiga hari ini sambil bekerja? “, tanya si pemuda.
“Kami mengeluh, mencibir, dan membicarakan kamu yang hanya duduk duduk saja melihat kami”, jawab seseorang.
“Itulah hal ketiga yang paling fatal. Kalian menghabiskan energi bukan untuk bekerja tapi sibuk membicarakan, mengeluh, dan mencibir orang yang bekerja bersama kalian dari pada melakukan bagian kalian dengan baik dan hati gembira. Dan satu lagi, pekerjaan saya memang bukan memotong pohon, tetapi bukan berarti saya tidak bekerja bersama saudara. Pekerjaan saya adalah duduk menolong saudara agar dapat memotong pohon dengan semakin baik”.
(Pdt. Rinto Tampubolon)
Tiga orang anak muda bertemu dengan Tuhan. Mereka kemudian bertanya kepada-Nya: “Tuhan bagaimanakah cara untuk menjalani kehidupan yang kami miliki?”
Tuhan lalu membawa mereka ke sebuah tempat yang bernama sorga.
“Saya beri kalian waktu satu hari untuk melakukan apapun di tempat ini”, ujar Tuhan kepada mereka.
Tiga orang anak muda tersebut sangat gembira mendengar kesempatan yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Anak muda pertama berkata dalam hatinya: “Waktunya sangat pendek, aku harus merasakan keindahan seluruh tempat ini”. Ia pun segera berlari-lari ke setiap bagian area tempat itu. Ia terus berlari, berlari, dan berlari.
Anak muda kedua berkata dalam hatinya: “Waktunya sangat pendek, aku harus mengumpulkan hal yang sangat berharga dari tempat ini”. Ia pun kemudian sibuk mencari sesuatu yang menurutnya sangat berharga dari tempat tersebut.
Anak muda ketiga berkata dalam hatinya: “Ah, tempat ini begitu indah. Aku ingin berbaring seharian di atas rumput hijau ini, mendengar suara air mengalir, burung berkicau, dan udara yang sejuk.” Pemuda ketiga tidak beranjak kemanapun. Ia hanya berbaring ditempatnya.
Waktu pun telah habis. Tuhan mengumpulkan mereka kembali.
“Apakah yang kalian dapat hari ini?”, tanya Tuhan kepada mereka.
“Aku lelah berlari seharian”, kata pemuda pertama.
“Aku lelah mencari dan mengumpulkan yang paling berharga”, kata pemuda kedua.
“Aku masih ngantuk”, ucap pemuda ketiga yang ternyata tertidur seharian.
“Apakah kalian telah tahu bagaimana cara menjalani hidup yang kalian miliki?”
“Belum Tuhan. Jadi, bagaimanakah caranya?”, tanya ketiga pemuda bersamaan.
“Baiklah, saya memberikan waktu satu hari lagi untuk melakukan apapun yang kalian ingin lakukan di tempat ini”, ucap Tuhan kepada mereka.
Ketiga pemuda gembira karena Tuhan memberikan satu hari lagi kepada mereka.
Dengan gembira pemuda pertama segera berlari-lari kembali, pemuda kedua sibuk mengumpulkan yang paling berharga, dan pemuda ketiga kembali berbaring tidur.
Tuhan melihat apa yang mereka lakukan dan bergumam: “Berapa banyak harikah yang perlu kuberikan kepada mereka agar mereka mengerti?
(Pdt. Rinto Tampubolon)