Di desa ada seminar motivasi hidup dari tokoh terkenal. Seminarnya diberi judul “Masa Depanmu Bukan Pada Mulut Orang Lain”. Bejo, temannya Kunang, mengikuti seminar dengan antusias.
“Ingat yah, masa depanmu bukan ada pada apa kata orang lain. Jangan hentikan jalanmu hanya karena mulut orang lain. Teruslah berjalan dan raih tujuanmu”, ucap sang tokoh semangat.
Seminar pun akhirnya selesai. Bejo harus kembali ke rumahnya. Dengan semangat dia mendayung sepeda ontelnya. Di sepanjang jalan Bejo selalu mengulang-ulang kata-kata sang tokoh dalam hatinya: “Masa depanmu bukan pada mulut orang lain. Teruslah berjalan dan raih tujuanmu”.
“Bejo, mau ke mana?, tiba-tiba seorang teman memanggilnya.
“Mau pulang lewat jalur kulon”, jawab Bejo.
“Lewat wetan aja, jangan lewat kulon”.
“Saya mau lewat kulon aja”, jawab Bejo sambil ngedumel di dalam hati: “enak aja mau atur jalan orang”.
Setelah setengah kilo perjalanan, seorang bapak berteriak kepada Bejo, “Bejo, jangan lewat Kulon yah”.
“Terimakasih”, jawab Bejo. Dalam hati Bejo ngedumel kembali: “orang kok kepo amat sama hidup orang lain”.
Setelah lewat dua kilo mengayuh sepeda. Sampailah Bejo pada ujung jalan desa. Bejo harus menyeberangi sebuah jembatan kayu untuk melewati parit irigasi. Rumah Bejo hanya tinggal tiga ratus meter dari jembatan tersebut.
“Bejo, kamu mau menyeberang yah?”, terdengar suara seorang kakek yang menyapa Bejo.
“Iya kek”, sahut Bejo pendek.
“Baiknya kamu putar balik lewat jalur wetan. Jangan lewat jembatan. Kondisinya kurang bagus”.
Mendengar itu Bejo pun naik emosinya. Ini yang ketiga kali orang-orang hendak mengatur jalan hidupnya.
“Kek, saya mau lewat wetan, kidul, atau kulon, itu hak asasi saya. Kenapa kalian mau atur-atur jalan hidup saya. Ingat kek, jalan hidup saya ada pada saya bukan pada mulut orang lain”, ucap Bejo dengan tidak sopan.
Si kakek diam. Bejo segera mengayuh sepedanya melewati jembatan kayu.
“Krek”
“Byur”
“Tolong…tolong”, teriak Bejo sambil berupaya menepi. Badannya basah dan sepedanya tenggelam.
Tiba-tiba Bejo ingat wajah si tokoh terkenal. Dengan kesal dia berkata: “Ini nih akibatnya kalau ngedengerin mulut orang lain”.
Pdt. Rinto Tampubolon
Di senja hari, seorang anak menyapa Kunang yang duduk sendiri dengan wajah yang muram.
“Om Kunang, kenapa wajahnya mengkerut, skin carenya habis yah? “, sapa si anak sambil mencandai.
“Lagi rumit. Banyak masalah'”, jawab Kunang dengan malas.
” Ada yang bisa dibantu Om?
“Kamu anak kecil tahu apa dengan masalah hidup, masalah yang rumit? “, ucap Kunang kesal.
” Saya mungkin belum pinter om. Tapi, guru sekolah minggu saya bilang: “Jangan pikir tinggi-tinggi karena otakmu tidak punya sayap untuk memikirkannya. Jangan sampai terlalu dalam, karena nafasmu tidak akan sanggup menyelaminya. Jangan terlalu jauh, karena belum tentu kamu punya waktu untuk sampai di sana. Jadi, lakukan satu hal saja”, ucap si anak.
“Apa itu?”, tanya Kunang.
” Berdoalah. Minta Tuhan Yesus memberikan damai sejahtera.”
“Masak DOA AJA! “, ucap Kunang kesel.
“Nah, kan. Om Kunang masih berpikir rumit. Jadi, masalah Om sesungguhnya adalah pikiran Om sendiri”, jawab si anak sambil tertawa kecil berjalan meninggalkan Kunang.
” Masak sih? “, ucap Kunang di dalam hati
Ia pun kembali duduk sendiri dengan muka mengkerut memikirkan pertanyaannya sendiri.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Di dalam perjalanan kehidupan, Tuhan tidak jarang membawa kita ke luar dari rancangan yang kita buat, supaya kita belajar berjalan dalam rencana-Nya. Kita mengarahkan rencana kita ke utara, Tuhan membawa kita ke Selatan. Kita siap untuk pergi ke Barat, tetapi Tuhan menuntun kita Timur. Semua bisa berubah dari apa yang kita rencanakan. Perubahan sesungguhnya adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan.
Perubahan bisa terjadi bukan karena hal besar saja, tetapi ia bisa terjadi hanya karena 0.01% kemungkinan tersisa. Saya mengalami itu dalam sebuah perencanaan perjalanan sabatical. Semua sudah direncanakan dan disiapkan dengan sebaik-baiknya. Didoakan dengan sungguh-sungguh. Melihat statistik kemungkinannya sudah 99,99% pasti akan terwujud. Namun, saya rupanya harus belajar untuk memberikan hormat yang sebesar-besarnya pada 0.01 % yang tersisa. Perencanaan tersebut berhenti berlanjut. Semua rencana berubah bukan karena faktor ketidakmungkinan yang besar, tetapi karena sisa kemungkinan yang kecil. Saya belajar untuk tidak meremehkan 0.01% yang terlihat sangat kecil, karena tanpa dia semua rencana akan berakhir begitu saja.
Tidak terwujudnya sebuah rencana bukanlah tanda kegagalan, tetapi tanda adanya perubahan arah. Tentang hal ini saya mengingat para pelaut yang menggunakan layar untuk berlayar mencapai tujuannya. Tidak jarang angin muncul untuk membuat arah tujuan terhalang. Tetapi para pelaut sejati tidak melawan angin, namun memutar haluan untuk mengikuti perubahan arah perjalanan.
Perubahan bukanlah hal yang buruk, tetapi ini adalah cara lain untuk memberitahu kita akan sebuah pengalaman, pengetahuan, dan cerita yang berbeda dari apa yang kita pernah pikirkan. Dan, jika Tuhan membawa kita ke luar dari rencana kita tentunya bukan dengan niat yang buruk, tetapi untuk memberikan pengalaman, pengetahuan, hikmat, serta cerita yang tidak pernah kita rancangkan sebelumnya. Nikmati saja perjalanan yang berubah, rencana yang berbeda, dan belajarlah di dalam perjalanan yang tidak pernah kita rencanakan.
Percayalah bahwa Allah senantiasa merancangkan rancangan kebaikan bukan keburukan untuk kita. Bukankah itu yang di katakan di dalam Yesaya 29:11: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Jadi, jangan takut untuk berencana, dan jangan sedih serta kecewa jika tidak terwujud. Ingatlah rencana yang tidak terwujud bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda perubahan, di mana kita akan melihat lebih banyak hal dari apa yang kita pikirkan dan rencanakan.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Banyak yang mengatakan “gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda”. Kesuksesan yang dikejar sudah ada hanya belum di dapat. Karena itu harus di kejar terus. Jangan menyerah. Mungkin esok ia akan di dapatkan. Sebab itu orang pun berjuang keras dengan keringat deras sampai memeras rasa dan daya supaya tidak gagal lagi.
Di sepanjang jalan orang-orang mulai bertanya “sampai kapan berusahanya?” Para motivator pun berkata, “sampai ia di dapatkan”. Lalu bagaimana cara mendapatkannya? Maka mereka pun membuat buku dan seminar tentang “1000 Tehnik Mengejar Kesuksesan” atau “Hidup Tanpa Gagal”. Dan, ini menjadi obat kuat untuk hasrat yang sudah lemah. Obat penenang bagi yang sudah kalut.
Ternyata ada yang sudah banyak minum berbagai jenis obat kuat tetapi tetap saja masih gagal. Mereka pun kembali kepada si pembuat buku dan seminar. “Mengapa saya masih gagal?”, tanya mereka. Dan, mereka mendapat jawaban, “Mungkin Tuhan tidak menghendaki atau Ia memiliki rencana yang lain”. “Kenapa Tuhan tidak menghendaki saya sukses?”, kejar mereka pada si pembuat buku dan seminar. “Oh, untuk hal itu tanyakan saja pada rohaniawan agama saudara”, jawabnya singkat. Mereka pun akhirnya gagal juga mendapatkan jawaban dari si pembuat buku dan seminar “anti gagal”.
Bicara tentang kegagalan, saya kira sebagian besar orang pernah mengalaminya. Baik itu dalam peristiwa besar atau pun hal-hal sederhana dalam kehidupan. Entah itu di peristiwa lampau atau pada saat ini, ketika saudara sedang membaca tulisan ini, saudara sedang merasa ‘gagal’.
Kalau hampir semua orang pernah mengalami kegagalan, berarti kegagalan adalah hal yang umum, bukan spesial, di dalam perjalanan kehidupan. Saudara pernah gagal, orangtua saudara juga pernah gagal, teman, sahabat, bahkan pendeta saudara juga tidak luput dari kegagalan. Sebagian besar orang pernah mengalami kegagalan dalam bermacam kisah dan peristiwanya masing-masing. Di Alkitab pun banyak tokoh-tokoh yang mengalami perasaan gagal. Elia yang merasa gagal mentobatkan Israel pada zaman Ahab. Musa yang gagal memasuki tanah Kanaan. Daud yang gagal mendidik Absalom. Kita semua pernah punya cerita tentang kegagalan kita masing-masing. Kegagalan adalah hal yang biasa dan bisa terjadi dalam kehidupan manusia. Ia bukan peristiwa yang luar biasa dan spesial terjadi hanya untuk diri saudara semata. Ia adalah bagian dari perjalanan hidup.
Karena itu, tidak perlu membayar mahal hanya untuk mengetahui kenapa saya gagal. Tidak perlu memeras dengan keras pikiran dan emosi untuk mendapatkan jawaban “Tuhan, mengapa saya gagal?” Ingatlah bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan hidup manusia yang sedang berusaha. Karena itu apa yang paling penting kita sadari adalah bahwa di dalam kegagalan itu kita tetap berharga di mata Tuhan. Karena di hadapan Tuhan kita berharga bukan karena kita berhasil, tetapi karena ia mengasihi kita. Inilah anugerah yang menguatkan kita untuk menerima kegagalan menjadi bagian dari kehidupan.
Dalam penghayatan anugerah tersebutlah kita akan tetap berdiri, melangkah, kuat, bertumbuh, dan damai dalam menerima kegagalan. Karena kita sadar bahwa gagal itu biasa, bukan istimewa, dan tidak menghilangkan anugerah kasih Tuhan. Ketika mengalami kegagalan, datang saja pada Tuhan dalam relasi yang dekat dan hangat, agar kita merasakan kasih-Nya yang mungkin sempat tidak terasa karena kekalutan diri. Jadi, bagaimana merespon kegagalan? Tetaplah berdiri dan melangkah, tersenyum dan tertawa, belajar dan berkembang, serta semakin bergantung pada anugerah kasih Bapa bukan upaya manusia semata.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Suatu hari saya berada di tepian laut. Saya melihat dua orang nelayan berada di atas perahunya. Ombak menggoyang perahu dan berupaya mendorongnya untuk kembali ke pantai. Dua orang nelayan dengan tenang memasukkan dayung ke dalam air dan mendorongnya ke belakang. Upaya mereka tampak seperti sia-sia, ombak terus mendorong agar mereka mundur kembali ke tepi pantai. Nelayan dengan santai terus mendayung, mendayung, dan mendayung. Mereka tahu ombak tidak akan menenggelamkan mereka karena perahu mereka kuat. Mereka tahu bahwa untuk dapat maju, mereka hanya perlu tetap berupaya mendayung dengan tenang, terukur, sabar.
Para Nelayan bukanlah penguasa ombak lautan. Mereka menyadari bahwa ombak akan selalu ada entah mereka berdoa atau tidak berdoa. Ombak akan selalu bergelombang baik mereka beribadah atau tidak beribadah. Ini adalah bentuk kesadaran diri akan realitas. Bahwa ada kenyataan atau realita dalam kehidupan ini yang harus dipahami karena begitulah adanya. Tetapi, bukan berarti mereka hanya diam saja menatap ombak dan menungguinya untuk berhenti bergelombang.
Sekali lagi, para nelayan sungguh menyadari bahwa mereka bukanlah penguasa ombak lautan. Ada yang lain, yang berkuasa atas semua hal itu, yaitu ALLAH. Mereka datang pada-Nya di dalam doa dan ibadahnya. Bukan untuk meminta Allah menghentikan ombak bergelombang. Mereka meminta agar Allah memberikan hikmat supaya mereka bisa mengatasi ombak. Allah mendengar doa mereka. Ia memberikan hikmat untuk membuat perahu dan dayung.
Apakah dapat membuat perahu dan dayung sudah cukup? Tentu tidak. Untuk dapat mendayung di atas ombak lautan mereka dibutuhkan iman dan upaya. Dibutuhkan keyakinan iman pada Allah untuk percaya bahwa perahu akan membuat mereka dapat aman mengatasi gelombang. Dibutuhkan upaya untuk berjuang mendayung perahu agar bergerak melewati gelombang demi gelombang.
Perahu membuat mereka tidak tenggelam dan upaya mendayung membuat mereka bergerak. Upaya tanpa perahu akan sia-sia melawan gelombang, perahu tanpa upaya mendayung pun hanya terdampar di tepian pantai.
Kehidupan nelayan mengingatkan saya akan firman Tuhan yang tidak asing di dengar. Firman yang berbicara tentang iman dan perbuatan. Apakah saudara juga mengingat firman itu? Cobalah renungkan firman itu beberapa waktu ke depan ini. Mungkin saudara saat ini sedang menghadapi gelombang, dan saudara sedang belajar bertumbuh mengatasi berbagai gelombang bersaama Tuhan.
Salam
Pdt. Rinto Tampubolon
Pemuda dan Para Pemotong Pohon
Para pemotong pohon sibuk bekerja, mengerahkan seluruh tenaga untuk hasil yang terbaik. Tetapi, sudah tujuh tahun berlalu, hasil pekerjaan mereka tidak pernah meningkat dan bahkan cenderung turun. Sang tuan kemudian berpikir untuk menambah seorang pekerja baru. Ia pun mempekerjakan seorang anak muda.
Hari pertama di minggu pertama, anak muda itu datang ketempat kerja mereka. Para pekerja senang karena ada tambahan tenaga baru. Namun, kesenangan mereka tidak bertahan lama, sebab anak muda itu hanya duduk duduk saja dan tidak membantu mereka. Mereka mulai mengeluh dan mencibir sang anak muda.
“Dari sejak pagi hanya duduk-duduk saja, sedangkan kita semua bekerja”, ucap pekerja satu tahun.
” Iya, enak sekali dia, kita memeras tenaga, dia santai santai aja”, ujar pekerja tiga tahun.
“Mas, kamu kan sudah tujuh tahun bekerja, Kamu juga dekat sama manager. Bisikin manager dong kasih tahu”, ujar pekerja lima tahun.
Tiga hari telah berlalu dan sepanjang hari itu para pekerja terus mengeluh tentang anak muda tersebut. Di hari keempat sang tuan mengumpulkan para pekerja untuk berbicara.
“Baiklah, hari ini kita akan mendengarkan hasil kerja keras anak muda ini selama tiga hari”, ucap sang tuan.
” Tuan, anak muda ini tidak pernah bekerja, dia hanya duduk duduk saja seharian. Bagaimana tuan bisa mengatakan dia bekerja keras”, ucap salah satu pekerja dengan keras.
Sang tuan tidak merespon perkataan pekerja itu, ia langsung meminta sang anak muda menyampaikan hasil pekerjaannya.
“Saudara, ijinkan saya bertanya tiga hal. Pertama, kapan terakhir kali saudara mengasah kampak saudara? Kedua, apa yang saudara makan sebelum bekerja?”
“Kami mengasah kampak enam bulan yang lalu dan kami tidak sempat sarapan dan langsung menebang pohon agar target tercapai”.
” Itulah dua kesalah saudara. Kapak yang tidak tajam akan membuat saudara mengeluarkan energi yang besar untuk menebang kayu dan tanpa saudara sarapan sebelum bekerja maka tiga jam kemudian energi saudara sudah berkurang jauh. Akhirnya saudara hanya terlihat sibuk bekerja tetapi tidak berdampak hasil yang maksimal”, ujar pemuda menjelaskan.
Semua pekerja terdiam mendengarnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kalangan pekerja.
“Saudara tadi katakan tiga hal, lalu apa yang terakhir?”
“Apa yang saudara lakukan selama tiga hari ini sambil bekerja? “, tanya si pemuda.
“Kami mengeluh, mencibir, dan membicarakan kamu yang hanya duduk duduk saja melihat kami”, jawab seseorang.
“Itulah hal ketiga yang paling fatal. Kalian menghabiskan energi bukan untuk bekerja tapi sibuk membicarakan, mengeluh, dan mencibir orang yang bekerja bersama kalian dari pada melakukan bagian kalian dengan baik dan hati gembira. Dan satu lagi, pekerjaan saya memang bukan memotong pohon, tetapi bukan berarti saya tidak bekerja bersama saudara. Pekerjaan saya adalah duduk menolong saudara agar dapat memotong pohon dengan semakin baik”.
(Pdt. Rinto Tampubolon)
Tiga orang anak muda bertemu dengan Tuhan. Mereka kemudian bertanya kepada-Nya: “Tuhan bagaimanakah cara untuk menjalani kehidupan yang kami miliki?”
Tuhan lalu membawa mereka ke sebuah tempat yang bernama sorga.
“Saya beri kalian waktu satu hari untuk melakukan apapun di tempat ini”, ujar Tuhan kepada mereka.
Tiga orang anak muda tersebut sangat gembira mendengar kesempatan yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Anak muda pertama berkata dalam hatinya: “Waktunya sangat pendek, aku harus merasakan keindahan seluruh tempat ini”. Ia pun segera berlari-lari ke setiap bagian area tempat itu. Ia terus berlari, berlari, dan berlari.
Anak muda kedua berkata dalam hatinya: “Waktunya sangat pendek, aku harus mengumpulkan hal yang sangat berharga dari tempat ini”. Ia pun kemudian sibuk mencari sesuatu yang menurutnya sangat berharga dari tempat tersebut.
Anak muda ketiga berkata dalam hatinya: “Ah, tempat ini begitu indah. Aku ingin berbaring seharian di atas rumput hijau ini, mendengar suara air mengalir, burung berkicau, dan udara yang sejuk.” Pemuda ketiga tidak beranjak kemanapun. Ia hanya berbaring ditempatnya.
Waktu pun telah habis. Tuhan mengumpulkan mereka kembali.
“Apakah yang kalian dapat hari ini?”, tanya Tuhan kepada mereka.
“Aku lelah berlari seharian”, kata pemuda pertama.
“Aku lelah mencari dan mengumpulkan yang paling berharga”, kata pemuda kedua.
“Aku masih ngantuk”, ucap pemuda ketiga yang ternyata tertidur seharian.
“Apakah kalian telah tahu bagaimana cara menjalani hidup yang kalian miliki?”
“Belum Tuhan. Jadi, bagaimanakah caranya?”, tanya ketiga pemuda bersamaan.
“Baiklah, saya memberikan waktu satu hari lagi untuk melakukan apapun yang kalian ingin lakukan di tempat ini”, ucap Tuhan kepada mereka.
Ketiga pemuda gembira karena Tuhan memberikan satu hari lagi kepada mereka.
Dengan gembira pemuda pertama segera berlari-lari kembali, pemuda kedua sibuk mengumpulkan yang paling berharga, dan pemuda ketiga kembali berbaring tidur.
Tuhan melihat apa yang mereka lakukan dan bergumam: “Berapa banyak harikah yang perlu kuberikan kepada mereka agar mereka mengerti?
(Pdt. Rinto Tampubolon)
Ada ujar ujar mengatakan “Sampan Ada, Pengayuh Tidak.” Artinya ‘hendak melakukan sesuatu, tetapi tidak lengkap syarat-syaratnya’. Menegur juga begitu. Dia tidak hanya bermodalkan hasrat atau keinginan, apalagi nafsu untuk menegur orang. Untuk menegur memerlukan tiga prasyarat yaitu: HATI, TUJUAN, dan KATA-KATA.
Sebelum kita menegur orang lain, kita harus lihat dulu HATI kita.
Pertama, jangan menegur dengan hati yang sedang emosi. Entah itu emosinya sedang marah, kecewa, kesel, dan sebagainya. Menegur harus dengan hati yang damai. Jadi, damaikan dulu hati kita. Kuasai hati kita dan doakan terlebih dahulu supaya emosi buruk lenyap dalam diri kita.
Kedua, hati kita harus didasari kasih terhadap orang itu. Sebelum menegur orang lain, kita perlu check hati kita. Jangan-jangan kita bersemangat tegur orang tersebut karena kita pernah terluka olehnya. Kita benci, tidak suka, dan sedang marah padanya. Kita juga perlu selidiki apakah pada saat kita mau menegur, hati kita dipenuhi rasa pongah, merasa lebih mulia, dan lebih benar dari orang lain tersebut. Jika ini yang ada di hati kita, maka kita harus bersihkan dulu hati kita dari semua itu. Supaya yang tinggal hanyalah kasih Tuhan terhadap orang tersebut. Jika tidak, maka kita sendiri sedang membawa diri kita jatuh kepada pencobaan.
Setelah hati kita beres, maka kita perlu check TUJUAN kita. Tujuan menegur hanya satu saja, seperti kata Tuhan Yesus, “supaya kita mendapatkannya kembali”. Artinya supaya kita menyelamatkan hidupnya kembali kepada Allah. Membawa dia kembali kepada terang firman Tuhan. Tujuannya hanya itu saja. Tidak boleh ke luar dari tujuan itu. Tidak boleh ada tujuan untuk berniat menjatuhkannya, membalas dendam, atau hendak mempermalukan diri orang tersebut. Ketika kita ke luar dari tujuan yang diinginkan Allah, maka kita bukan lagi sedang menegur untuk menyelamatkan, tetapi menjatuhkan diri kita pada hasrat kedagingan kita. Kita pun di sini menjadi tidak benar.
Terakhir, setelah hati dan tujuan, maka kita perlu siapkan KATA-KATA. Menegur itu bukan tentang mengeluarkan kata-kata yang menyerang pribadi orang lain. Menegur bukan tentang menyampaikan kata-kata yang menghakimi orang lain. Menegur bukan tentang memuaskan diri kita. Menegur bukan tentang membicarakan tindakan buruk yang orang lain lakukan. Kita juga harus menjaga kata kata kita, supaya perkataan kita adalah perkataan yang menyelamatkan bukan menyudutkan, menyadarkan bukan menekan, menolong bukan menjatuhkan.
Jadi, menegur itu apa? Menegur adalah…………………..(bersambung)
Pdt. Rinto Tampubolon
Ditegur itu tidak enak. Bisa bikin panas telinga, hati, otak, jantung, dan lambung. Kalau kuping sudah panas, otak pun gerah, jantung berdetak ngebut, asam lambung teriak-teriak di perut. Lalu mulut siap-siap meledak mengeluarkan larva kata-kata yang panasnya dua kali lipat dari kata-kata yang diterima. Karena itu, kebanyakan orang tidak mau ditegur.
Menegur orang juga sama tidak enaknya. Emangnya mudah negur orang? Emangnya siap untuk menerima larva amarah dari orang yang ditegur? Lagian siapa kita, negur-negur orang lain. Kepo amat sih sama hidup orang lain. Orang mau celaka atau tidak itu pilihan hidupnya sendiri. Mending diam saja, jangan menghakimi hidup orang lain. Begitu kata orang banyak.
Penginnya sih begitu. Cuex aja akan hidup orang lain. Tetapi firman Tuhan bilang kita harus mengasihi sesama. Apakah kita bisa dikatakan mengasihi sesama, kalau kita tahu bahwa seseorang tersebut sedang berjalan menuju jurang dan kita diam saja? Apakah kita adalah seorang sahabat yang mengasihi sahabat kita kalau kita diam saja ketika melihat pernikahannya akan hancur karena tindakan ketisaksetiaannya pada pasangannya? Apakah kita menjadi teman yang baik ketika melihat teman kita menjauh dari ibadahnya kepada Tuhan? Apakah kita bisa dikatakan mencintai Kristus, jika kita membiarkan orang lain dan keluarga kita celaka, padahal Kristus berkorban untuk menyelamatkannya? Apakah kita bisa diam saja. Padahal firman Tuhan di Yehezkiel 33:8-9 mengatakan “kalau kamu tidak memperingatkan orang jahat tersebut supaya bertobat dari hidupnya, ia akan mati dalam kesalahannya”.
Kalau kita dikatakan mengasihi orang tersebut, apakah kita akan diam saja membiarkan dia celaka. Apakah kita sangat egois hanya memikirkan diri kita saja. Udah biarkan saja sesama kita binasa, yang penting kita tidak. Apakah sikap ini Allah benarkan?
Apabila melihat perkataan Allah kepada Yehezkiel, tampaknya hal itu bukan sikap yang dikehendaki Allah. Buktinya Dia berkata kepada Yehezkiel 33:8-9 “kalau dia tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang tersebut, maka Allah akan meminta pertanggungan jawab atas nyawanya dari pada dirinya. Tetapi, kalau dia memperingatkan orang tersebut tetapi orang tersebut tidak bertobat, maka tindakan mengingatkan itu menyelamatkan hidup Yehezkiel”.
Jadi, baik menegur dan menerima teguran memiliki dasar yang sama yaitu karena kita mengasihi diri kita dan orang lain. Kita ingin diri kita dan orang lain tetap memiliki kehidupan yang dari Allah.
Sekarang, sudah siap ditegur oleh orang lain? Atau, sudah siap siap mau negur orang lain? Upss, sabar dulu, jangan buru-buru. Kita belajar dulu lagi besok yah…. ……(bersambung)
Pdt. Rinto Tampubolon.