Menjadi Bijak
“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah DIA dalam segala lakumu, maka IA akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan”. Amsal 3: 5-7.
Seorang murid bernama Lao Tzu mengetahui bahwa pembimbingnya, Chang Cong mengalami sakit keras dan kelihatannya mendekati akhir hidupnya. Dalam kunjungan Lao Tzu ke tempat gurunya, Chang Cong, terjadi sebuah dialog demikian:
Lao Tzu : “Guru, apakah guru mempunyai kata-kata bijak terakhir untukku?
Chang Cong : “Sekalipun kamu tidak bertanya, aku pasti akan mengatakan sesuatu kepadamu”
Lao Tzu : “Apa itu?”,
Chang Cong : “Kamu harus turun dari keretamu, bila kamu melewati kota kelahiranmu”.
Lao Tzu : “Ya, guru. Ini berarti, saya harus menghormati orang yang lebih tua”.
Chang Cong : “Sekarang, lihat dan katakan, apakah kamu dapat melihat lidahku?” (menundukkan dagunya dengan susah payah)
Lao Tzu : ”Ya”.
Chang Cong : ”Apakah kamu melihat gigiku?”.
Lao Tzu : ”Tidak. Tidak ada gigi yang tersisa”.
Chang Cong : ”Kamu tahu kenapa?”.
Lao Tzu : ”Aku rasa (berpikir sejenak), lidah tetap ada karena lunak. Gigi rontok, karena mereka keras. Benar tidak?”.
Chang Cong : ”Ya, anakku (sambil mengangguk). Itulah kebijaksanaan di dunia. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk diajarkan kepadamu”.
Kemudian hari, Lao Tzu mengatakan: ”Tidak ada sesuatu pun di dunia yang selunak air. Namun, tidak ada yang mengunggulinya dalam mengalahkan yang keras. Yang lunak mengalahkan yang keras dan yang lembut mengalahkan yang kuat. Setiap orang tahu itu, tapi sedikit saja yang mempraktikannya”.
Dialog antara Lao Tzu sebagai murid dengan Chang Cong sebagai guru memberikan hikmat bagi kita semua. Banyak di antara kita tidak menjadi bijak, sehingga yang muncul adalah kesombongan, penindasan dan perselisihan. Kita tidak menjadi bijak, karena beberapa faktor:
a. Keterbatasan cara berpikir kita, karena kurang pengalaman atau pengetahuan di suatu bidang .
b. Kedegilan/kekerasan hati kita.
c. Kita merasa diri benar, hebat, sehingga menganggap yang lain sepele atau keliru.
Saya terkesan dengan kebiasaan/tradisi orang-orang Yahudi, memakai topi pada saat berdoa atau bersembahyang. Hal ini sesuatu yang tidak sopan menurut pandangan kita pada umumnya. Orang-orang Yahudi (orang asingpun diwajibkan untuk memakai topi yang dibuat dari karton, bila berdoa di tembok ratapan/tembok sebelah barat) memahami bahwa di atas kepala yang paling tinggi dari manusia ada lagi sesuatu di atas kita. Artinya, di atas manusia (kekuatan, kehebatan, kekayaan) ada Tuhan yang lebih berkuasa. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mengandalkan kekuatan, kehebatan, kepintaran dirinya.
Itulah sebabnya Firman Tuhan dalam Amsal 3:5-7, mengajak kepada kita agar tidak menganggap diri kita bijak, pandai dan mengandalkan kekuatan diri kita sendiri, tetapi justru percaya, taat dan mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Kita akan mengalami kejatuhan bila kita merasa diri bijak dengan mengandalkan kekuatan, kehebatan kita (Amsal 16:5,18). Contoh: Mike Tyson, yang menganggap diri hebat, maka ia jatuh oleh petinju James Buster Douglas. Inilah awal dari kejatuhan dari Mike Tyson yang sesungguhnya dalam jenjang kariernya. Sebaliknya Firman Tuhan mengatakan kepada kita, bila kita mau menjadi bijak, maka kita akan mendatangkan sukacita (Amsal 10:1), dapat ”mengambil” hati orang lain (Amsal 11:30), akan mewarisi kehormatan (Amsal 3:35).
Benar apa yang dikatakan oleh Lao Tzu bahwa setiap orang tahu bahkan ingin menjadi bijak seperti raja Salomo, tetapi sedikit di antara kita yang mampu mempraktikannya. Mengapa? Sebab kebanyakan dari kita bukan mencari ”hikmat / Wisdom”, tetapi mencari kehormatan, kedudukan, kekayaan untuk memuaskan nafsu. Oleh sebab itu, belajar taat dan bersandar kepada Tuhan. Bila kita belajar bersandar dan taat kepada Tuhan, maka kita sudah mengalahkan nafsu. Marilah kita berdoa kepada Tuhan untuk mendapat ”Kebijakan / Wisdom (Hikmat)”, seperti yang diminta oleh Salomo dalam doanya( I Raja-Raja 3:9-13 ). Tuhan memberkati kita. Amin.
Pdt. Sugiarto Sutanto, M.Min. (2009-01-22)