Selamat Datang di GKI Taman Aries Website

Follow Us:

KONTAK SEKRETARIAT

Far far away, behind the word moun tains, far from the countries Consonantia, there live the blind texts.

759 Pinewood Avenue

Marquette, Michigan

info@domain.com

Online Support

906-624-2565

Mon-Fri 8am-5pm

Get Subscribed!

    Banyak yang mengatakan “gagal itu adalah kesuksesan yang tertunda”. Kesuksesan yang dikejar sudah ada hanya belum di dapat. Karena itu harus di kejar terus. Jangan menyerah. Mungkin esok ia akan di dapatkan. Sebab itu orang pun berjuang keras dengan keringat deras sampai memeras rasa dan daya supaya tidak gagal lagi.

    Di sepanjang jalan orang-orang mulai bertanya “sampai kapan berusahanya?” Para motivator pun berkata, “sampai ia di dapatkan”. Lalu bagaimana cara mendapatkannya? Maka mereka pun membuat buku dan seminar tentang “1000 Tehnik Mengejar Kesuksesan” atau “Hidup Tanpa Gagal”. Dan, ini menjadi obat kuat untuk hasrat yang sudah lemah. Obat penenang bagi yang sudah kalut.

    Ternyata ada yang sudah banyak minum berbagai jenis obat kuat tetapi tetap saja masih gagal. Mereka pun kembali kepada si pembuat buku dan seminar. “Mengapa saya masih gagal?”, tanya mereka. Dan, mereka mendapat jawaban, “Mungkin Tuhan tidak menghendaki atau Ia memiliki rencana yang lain”. “Kenapa Tuhan tidak menghendaki saya sukses?”, kejar mereka pada si pembuat buku dan seminar. “Oh, untuk hal itu tanyakan saja pada rohaniawan agama saudara”, jawabnya singkat. Mereka pun akhirnya gagal juga mendapatkan jawaban dari si pembuat buku dan seminar “anti gagal”.

    Bicara tentang kegagalan, saya kira sebagian besar orang pernah mengalaminya. Baik itu dalam peristiwa besar atau pun hal-hal sederhana dalam kehidupan. Entah itu di peristiwa lampau atau pada saat ini, ketika saudara sedang membaca tulisan ini, saudara sedang merasa ‘gagal’.

    Kalau hampir semua orang pernah mengalami kegagalan, berarti kegagalan adalah hal yang umum, bukan spesial, di dalam perjalanan kehidupan. Saudara pernah gagal, orangtua saudara juga pernah gagal, teman, sahabat, bahkan pendeta saudara juga tidak luput dari kegagalan. Sebagian besar orang pernah mengalami kegagalan dalam bermacam kisah dan peristiwanya masing-masing. Di Alkitab pun banyak tokoh-tokoh yang mengalami perasaan gagal. Elia yang merasa gagal mentobatkan Israel pada zaman Ahab. Musa yang gagal memasuki tanah Kanaan. Daud yang gagal mendidik Absalom. Kita semua pernah punya cerita tentang kegagalan kita masing-masing. Kegagalan adalah hal yang biasa dan bisa terjadi dalam kehidupan manusia. Ia bukan peristiwa yang luar biasa dan spesial terjadi hanya untuk diri saudara semata. Ia adalah bagian dari perjalanan hidup.

    Karena itu, tidak perlu membayar mahal hanya untuk mengetahui kenapa saya gagal. Tidak perlu memeras dengan keras pikiran dan emosi untuk mendapatkan jawaban “Tuhan, mengapa saya gagal?” Ingatlah bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan hidup manusia yang sedang berusaha. Karena itu apa yang paling penting kita sadari adalah bahwa di dalam kegagalan itu kita tetap berharga di mata Tuhan. Karena di hadapan Tuhan kita berharga bukan karena kita berhasil, tetapi karena ia mengasihi kita. Inilah anugerah yang menguatkan kita untuk menerima kegagalan menjadi bagian dari kehidupan.

    Dalam penghayatan anugerah tersebutlah kita akan tetap berdiri, melangkah, kuat, bertumbuh, dan damai dalam menerima kegagalan. Karena kita sadar bahwa gagal itu biasa, bukan istimewa, dan tidak menghilangkan anugerah kasih Tuhan. Ketika mengalami kegagalan, datang saja pada Tuhan dalam relasi yang dekat dan hangat, agar kita merasakan kasih-Nya yang mungkin sempat tidak terasa karena kekalutan diri. Jadi, bagaimana merespon kegagalan? Tetaplah berdiri dan melangkah, tersenyum dan tertawa, belajar dan berkembang, serta semakin bergantung pada anugerah kasih Bapa bukan upaya manusia semata.

    Salam
    Pdt. Rinto Tampubolon

    Suatu hari saya berada di tepian laut. Saya melihat dua orang nelayan berada di atas perahunya. Ombak menggoyang perahu dan berupaya mendorongnya untuk kembali ke pantai. Dua orang nelayan dengan tenang memasukkan dayung ke dalam air dan mendorongnya ke belakang. Upaya mereka tampak seperti sia-sia, ombak terus mendorong agar mereka mundur kembali ke tepi pantai. Nelayan dengan santai terus mendayung, mendayung, dan mendayung. Mereka tahu ombak tidak akan menenggelamkan mereka karena perahu mereka kuat. Mereka tahu bahwa untuk dapat maju, mereka hanya perlu tetap berupaya mendayung dengan tenang, terukur, sabar.

    Para Nelayan bukanlah penguasa ombak lautan. Mereka menyadari bahwa ombak akan selalu ada entah mereka berdoa atau tidak berdoa. Ombak akan selalu bergelombang baik mereka beribadah atau tidak beribadah. Ini adalah bentuk kesadaran diri akan realitas. Bahwa ada kenyataan atau realita dalam kehidupan ini yang harus dipahami karena begitulah adanya. Tetapi, bukan berarti mereka hanya diam saja menatap ombak dan menungguinya untuk berhenti bergelombang.

    Sekali lagi, para nelayan sungguh menyadari bahwa mereka bukanlah penguasa ombak lautan. Ada yang lain, yang berkuasa atas semua hal itu, yaitu ALLAH. Mereka datang pada-Nya di dalam doa dan ibadahnya. Bukan untuk meminta Allah menghentikan ombak bergelombang. Mereka meminta agar Allah memberikan hikmat supaya mereka bisa mengatasi ombak. Allah mendengar doa mereka. Ia memberikan hikmat untuk membuat perahu dan dayung.

    Apakah dapat membuat perahu dan dayung sudah cukup? Tentu tidak. Untuk dapat mendayung di atas ombak lautan mereka dibutuhkan iman dan upaya. Dibutuhkan keyakinan iman pada Allah untuk percaya bahwa perahu akan membuat mereka dapat aman mengatasi gelombang. Dibutuhkan upaya untuk berjuang mendayung perahu agar bergerak melewati gelombang demi gelombang.

    Perahu membuat mereka tidak tenggelam dan upaya mendayung membuat mereka bergerak. Upaya tanpa perahu akan sia-sia melawan gelombang, perahu tanpa upaya mendayung pun hanya terdampar di tepian pantai.

    Kehidupan nelayan mengingatkan saya akan firman Tuhan yang tidak asing di dengar. Firman yang berbicara tentang iman dan perbuatan. Apakah saudara juga mengingat firman itu? Cobalah renungkan firman itu beberapa waktu ke depan ini. Mungkin saudara saat ini sedang menghadapi gelombang, dan saudara sedang belajar bertumbuh mengatasi berbagai gelombang bersaama Tuhan.

    Salam
    Pdt. Rinto Tampubolon

    Pemuda dan Para Pemotong Pohon

    Para pemotong pohon sibuk bekerja, mengerahkan seluruh tenaga untuk hasil yang terbaik. Tetapi, sudah tujuh tahun berlalu, hasil pekerjaan mereka tidak pernah meningkat dan bahkan cenderung turun. Sang tuan kemudian berpikir untuk menambah seorang pekerja baru. Ia pun mempekerjakan seorang anak muda.

    Hari pertama di minggu pertama, anak muda itu datang ketempat kerja mereka. Para pekerja senang karena ada tambahan tenaga baru. Namun, kesenangan mereka tidak bertahan lama, sebab anak muda itu hanya duduk duduk saja dan tidak membantu mereka. Mereka mulai mengeluh dan mencibir sang anak muda.

    “Dari sejak pagi hanya duduk-duduk saja, sedangkan kita semua bekerja”, ucap pekerja satu tahun.

    ” Iya, enak sekali dia, kita memeras tenaga, dia santai santai aja”, ujar pekerja tiga tahun.

    “Mas, kamu kan sudah tujuh tahun bekerja, Kamu juga dekat sama manager. Bisikin manager dong kasih tahu”, ujar pekerja lima tahun.

    Tiga hari telah berlalu dan sepanjang hari itu para pekerja terus mengeluh tentang anak muda tersebut. Di hari keempat sang tuan mengumpulkan para pekerja untuk berbicara.

    “Baiklah, hari ini kita akan mendengarkan hasil kerja keras anak muda ini selama tiga hari”, ucap sang tuan.

    ” Tuan, anak muda ini tidak pernah bekerja, dia hanya duduk duduk saja seharian. Bagaimana tuan bisa mengatakan dia bekerja keras”, ucap salah satu pekerja dengan keras.

    Sang tuan tidak merespon perkataan pekerja itu, ia langsung meminta sang anak muda menyampaikan hasil pekerjaannya.

    “Saudara, ijinkan saya bertanya tiga hal. Pertama, kapan terakhir kali saudara mengasah kampak saudara? Kedua, apa yang saudara makan sebelum bekerja?”

    “Kami mengasah kampak enam bulan yang lalu dan kami tidak sempat sarapan dan langsung menebang pohon agar target tercapai”.

    ” Itulah dua kesalah saudara. Kapak yang tidak tajam akan membuat saudara mengeluarkan energi yang besar untuk menebang kayu dan tanpa saudara sarapan sebelum bekerja maka tiga jam kemudian energi saudara sudah berkurang jauh. Akhirnya saudara hanya terlihat sibuk bekerja tetapi tidak berdampak hasil yang maksimal”, ujar pemuda menjelaskan.

    Semua pekerja terdiam mendengarnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kalangan pekerja.

    “Saudara tadi katakan tiga hal, lalu apa yang terakhir?”

    “Apa yang saudara lakukan selama tiga hari ini sambil bekerja? “, tanya si pemuda.

    “Kami mengeluh, mencibir, dan membicarakan kamu yang hanya duduk duduk saja melihat kami”, jawab seseorang.

    “Itulah hal ketiga yang paling fatal. Kalian menghabiskan energi bukan untuk bekerja tapi sibuk membicarakan, mengeluh, dan mencibir orang yang bekerja bersama kalian dari pada melakukan bagian kalian dengan baik dan hati gembira. Dan satu lagi, pekerjaan saya memang bukan memotong pohon, tetapi bukan berarti saya tidak bekerja bersama saudara. Pekerjaan saya adalah duduk menolong saudara agar dapat memotong pohon dengan semakin baik”.

    (Pdt. Rinto Tampubolon)

    Tiga orang anak muda bertemu dengan Tuhan. Mereka kemudian bertanya kepada-Nya: “Tuhan bagaimanakah cara untuk menjalani kehidupan yang kami miliki?”

    Tuhan lalu membawa mereka ke sebuah tempat yang bernama sorga.

    “Saya beri kalian waktu satu hari untuk melakukan apapun di tempat ini”, ujar Tuhan kepada mereka.

    Tiga orang anak muda tersebut sangat gembira mendengar kesempatan yang diberikan Tuhan kepada mereka.

    Anak muda pertama berkata dalam hatinya: “Waktunya sangat pendek, aku harus merasakan keindahan seluruh tempat ini”. Ia pun segera berlari-lari ke setiap bagian area tempat itu. Ia terus berlari, berlari, dan berlari.

    Anak muda kedua berkata dalam hatinya: “Waktunya sangat pendek, aku harus mengumpulkan hal yang sangat berharga dari tempat ini”. Ia pun kemudian sibuk mencari sesuatu yang menurutnya sangat berharga dari tempat tersebut.

    Anak muda ketiga berkata dalam hatinya: “Ah, tempat ini begitu indah. Aku ingin berbaring seharian di atas rumput hijau ini, mendengar suara air mengalir, burung berkicau, dan udara yang sejuk.” Pemuda ketiga tidak beranjak kemanapun. Ia hanya berbaring ditempatnya.

    Waktu pun telah habis. Tuhan mengumpulkan mereka kembali.

    “Apakah yang kalian dapat hari ini?”, tanya Tuhan kepada mereka.

    “Aku lelah berlari seharian”, kata pemuda pertama.
    “Aku lelah mencari dan mengumpulkan yang paling berharga”, kata pemuda kedua.
    “Aku masih ngantuk”, ucap pemuda ketiga yang ternyata tertidur seharian.

    “Apakah kalian telah tahu bagaimana cara menjalani hidup yang kalian miliki?”

    “Belum Tuhan. Jadi, bagaimanakah caranya?”, tanya ketiga pemuda bersamaan.

    “Baiklah, saya memberikan waktu satu hari lagi untuk melakukan apapun yang kalian ingin lakukan di tempat ini”, ucap Tuhan kepada mereka.

    Ketiga pemuda gembira karena Tuhan memberikan satu hari lagi kepada mereka.

    Dengan gembira pemuda pertama segera berlari-lari kembali, pemuda kedua sibuk mengumpulkan yang paling berharga, dan pemuda ketiga kembali berbaring tidur.

    Tuhan melihat apa yang mereka lakukan dan bergumam: “Berapa banyak harikah yang perlu kuberikan kepada mereka agar mereka mengerti?

    (Pdt. Rinto Tampubolon)

    Ada ujar ujar mengatakan “Sampan Ada, Pengayuh Tidak.” Artinya ‘hendak melakukan sesuatu, tetapi tidak lengkap syarat-syaratnya’. Menegur juga begitu. Dia tidak hanya bermodalkan hasrat atau keinginan, apalagi nafsu untuk menegur orang. Untuk menegur memerlukan tiga prasyarat yaitu: HATI, TUJUAN, dan KATA-KATA.

    Sebelum kita menegur orang lain, kita harus lihat dulu HATI kita.

    Pertama, jangan menegur dengan hati yang sedang emosi. Entah itu emosinya sedang marah, kecewa, kesel, dan sebagainya. Menegur harus dengan hati yang damai. Jadi, damaikan dulu hati kita. Kuasai hati kita dan doakan terlebih dahulu supaya emosi buruk lenyap dalam diri kita.

    Kedua, hati kita harus didasari kasih terhadap orang itu. Sebelum menegur orang lain, kita perlu check hati kita. Jangan-jangan kita bersemangat tegur orang tersebut karena kita pernah terluka olehnya. Kita benci, tidak suka, dan sedang marah padanya. Kita juga perlu selidiki apakah pada saat kita mau menegur, hati kita dipenuhi rasa pongah, merasa lebih mulia, dan lebih benar dari orang lain tersebut. Jika ini yang ada di hati kita, maka kita harus bersihkan dulu hati kita dari semua itu. Supaya yang tinggal hanyalah kasih Tuhan terhadap orang tersebut. Jika tidak, maka kita sendiri sedang membawa diri kita jatuh kepada pencobaan.

    Setelah hati kita beres, maka kita perlu check TUJUAN kita. Tujuan menegur hanya satu saja, seperti kata Tuhan Yesus, “supaya kita mendapatkannya kembali”. Artinya supaya kita menyelamatkan hidupnya kembali kepada Allah. Membawa dia kembali kepada terang firman Tuhan. Tujuannya hanya itu saja. Tidak boleh ke luar dari tujuan itu. Tidak boleh ada tujuan untuk berniat menjatuhkannya, membalas dendam, atau hendak mempermalukan diri orang tersebut. Ketika kita ke luar dari tujuan yang diinginkan Allah, maka kita bukan lagi sedang menegur untuk menyelamatkan, tetapi menjatuhkan diri kita pada hasrat kedagingan kita. Kita pun di sini menjadi tidak benar.

    Terakhir, setelah hati dan tujuan, maka kita perlu siapkan KATA-KATA. Menegur itu bukan tentang mengeluarkan kata-kata yang menyerang pribadi orang lain. Menegur bukan tentang menyampaikan kata-kata yang menghakimi orang lain. Menegur bukan tentang memuaskan diri kita. Menegur bukan tentang membicarakan tindakan buruk yang orang lain lakukan. Kita juga harus menjaga kata kata kita, supaya perkataan kita adalah perkataan yang menyelamatkan bukan menyudutkan, menyadarkan bukan menekan, menolong bukan menjatuhkan.

    Jadi, menegur itu apa? Menegur adalah…………………..(bersambung)

    Pdt. Rinto Tampubolon

    Ditegur itu tidak enak. Bisa bikin panas telinga, hati, otak, jantung, dan lambung. Kalau kuping sudah panas, otak pun gerah, jantung berdetak ngebut, asam lambung teriak-teriak di perut. Lalu mulut siap-siap meledak mengeluarkan larva kata-kata yang panasnya dua kali lipat dari kata-kata yang diterima. Karena itu, kebanyakan orang tidak mau ditegur.

    Menegur orang juga sama tidak enaknya. Emangnya mudah negur orang? Emangnya siap untuk menerima larva amarah dari orang yang ditegur? Lagian siapa kita, negur-negur orang lain. Kepo amat sih sama hidup orang lain. Orang mau celaka atau tidak itu pilihan hidupnya sendiri. Mending diam saja, jangan menghakimi hidup orang lain. Begitu kata orang banyak.

    Penginnya sih begitu. Cuex aja akan hidup orang lain. Tetapi firman Tuhan bilang kita harus mengasihi sesama. Apakah kita bisa dikatakan mengasihi sesama, kalau kita tahu bahwa seseorang tersebut sedang berjalan menuju jurang dan kita diam saja? Apakah kita adalah seorang sahabat yang mengasihi sahabat kita kalau kita diam saja ketika melihat pernikahannya akan hancur karena tindakan ketisaksetiaannya pada pasangannya? Apakah kita menjadi teman yang baik ketika melihat teman kita menjauh dari ibadahnya kepada Tuhan? Apakah kita bisa dikatakan mencintai Kristus, jika kita membiarkan orang lain dan keluarga kita celaka, padahal Kristus berkorban untuk menyelamatkannya? Apakah kita bisa diam saja. Padahal firman Tuhan di Yehezkiel 33:8-9 mengatakan “kalau kamu tidak memperingatkan orang jahat tersebut supaya bertobat dari hidupnya, ia akan mati dalam kesalahannya”.

    Kalau kita dikatakan mengasihi orang tersebut, apakah kita akan diam saja membiarkan dia celaka. Apakah kita sangat egois hanya memikirkan diri kita saja. Udah biarkan saja sesama kita binasa, yang penting kita tidak. Apakah sikap ini Allah benarkan?

    Apabila melihat perkataan Allah kepada Yehezkiel, tampaknya hal itu bukan sikap yang dikehendaki Allah. Buktinya Dia berkata kepada Yehezkiel 33:8-9 “kalau dia tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang tersebut, maka Allah akan meminta pertanggungan jawab atas nyawanya dari pada dirinya. Tetapi, kalau dia memperingatkan orang tersebut tetapi orang tersebut tidak bertobat, maka tindakan mengingatkan itu menyelamatkan hidup Yehezkiel”.

    Jadi, baik menegur dan menerima teguran memiliki dasar yang sama yaitu karena kita mengasihi diri kita dan orang lain. Kita ingin diri kita dan orang lain tetap memiliki kehidupan yang dari Allah.

    Sekarang, sudah siap ditegur oleh orang lain? Atau, sudah siap siap mau negur orang lain? Upss, sabar dulu, jangan buru-buru. Kita belajar dulu lagi besok yah…. ……(bersambung)

    Pdt. Rinto Tampubolon.

    Bermain layangan juga memiliki cerita jeleknya. Jelek bukan karena permainannya, tetapi karena ada aja orang-orang yang melakukan hal buruk ketika bermain. Ada orang-orang yang mengejar layangan putus dengan prinsip, ¬“kalau saya tidak dapat, orang lain juga tidak boleh dapat”.

    Orang-orang dengan prinsip tersebut akan berupaya menghancurkan layangan putus yang sudah di dapat orang lain terlebih dahulu. Orang-orang seperti ini tidak senang melihat orang lain gembira. Ia hanya mau bersenang-senang sendirian. Ia tidak peduli orang lain. Ia tidak akan mengucapkan selamat kepada yang mendapatkan layangan, tetapi justru merusak layangan yang telah di dapat orang lain.

    Biasanya orang-orang seperti itu punya cara yang khas. Ketika ia melihat tangan orang lain sudah memegang terlebih dahulu layangan yang putus, maka ia akan mendorong-dorong orang-orang untuk menghasilkan kekacauan, lalu segera tangannya menyelinap di sela-sela kekacauan untuk merobek layangan yang ada di tangan orang lain. Ia menghancurkan dengan cara tersembunyi, sehingga tidak bisa disalahkan. Begitulah karakter jeleknya. Ada rasa iri, jahat, merusak, licik, dan sebagainya diborong jadi satu hanya karena tidak ingin orang lain gembira dan keinginannya tidak tercapai.

    Menghadapi orang-orang seperti itu memang _ngeselin. Tetapi anak-anak yang layangannya telah dirobek tidak marah-marah. Ia tidak mengajak berkelahi orang-orang yang telah menghancurkan kegembiraan dan kerja kerasnya dalam mengejar layangan putus. Ketika layangan itu sudah robek, ia membuangnya dan kemudian fokus lagi berupaya mengejar layangan putus yang lain. Tetapi ada bedanya, dan ini yang menarik.

    Anak-anak yang baik tahu bahwa berhadapan dengan orang seperti itu tidak harus berlaku sama dengannya, tetapi justru harus memiliki perilaku yang berbeda. Mereka berpikir bagaimana cara yang kreatif, baik, dan tidak merusak orang lain, tetapi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Anak-anak itu pun kemudian menemukan cara dan tehnik lain dalam mengejar layangan putus. Mereka tidak mengejar lagi layangannya tetapi mengejar benang layangan yang melambai mengikuti layangan. Anak-anak belajar mulai memiliki fokus penglihatan yang lebih tajam. Mereka mencari benang layangan yang melambai di udara lalu kemudian menangkap benang itu. Siapa yang menangkap benang tentunya ia lah yang menguasai layangan putus yang masih berada di udara. Cara ini membuat orang-orang dengan sifat perusak tadi tidak mampu untuk merusak layangan yang telah di dapat. Layangan putus jauh dari jangkauannya. Setelah kondisi tenang, barulah yang mendapatkan layangan menurunkan layangan putus untuk dia bawa pulang.

    Pengalaman mengejar layangan putus adalah pembelajaran pembentukan diri. Sekalipun kita sangat menginginkan sesuatu untuk didapatkan, kita harus tetap menjaga karakter kristiani kita dalam mendapatkan itu. Firman Tuhan dalam Yakobus 4:2 mengingatkan kita, jangan karena kita tidak memperoleh keinginan kita, maka kita berbuat jahat dan berperilaku buruk. Kita perlu belajar terus menerus untuk mendapatkan sesuatu bukan dengan kejahatan tetapi dengan doa dan karakter kristiani yang firman Tuhan ajarkan.

    Di sisi lain, anak-anak yang baik, para pengejar layangan putus, memiliki tindakan yang bernilai untuk kita pegang. Mereka tahu bahwa layangan putus yang mereka kejar itu juga dikejar oleh banyak anak-anak lain. Diantara para pengejar ada saja yang mengejar dengan cara tidak patut dan wajar. Karena itu mereka berupaya untuk lebih mengasah kecerdikannya dari pada merawat amarahnya atas perbuatan orang lain itu. Jauh lebih baik menggunakan waktu untuk berpikir cara cerdik dan berkarakter dari pada menghabiskan waktu untuk bertengkar dengan orang yang memang berniat merusak kegembiraan diri. Akhirnya terbukti, anak-anak yang berkarakter dan berpikir cerdik, justru berkembang dalam pengetahuan dan keterampilannya. Mereka bisa mendapatkan apa yang mereka kejar tanpa merusak apa yang telah didapatkan orang lain dan sekaligus juga membuat para perusak tidak mampu untuk merusak apa yang ia dapatkan. Di sinilah saya mengingat apa yang Tuhan Yesus katakana kepada murid-murid-Nya: “…hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”.

    Untuk itu, mari saudara-saudara kita juga menjadikan perkataan Tuhan Yesus sebagai doa kita: “Tuhan Yesus berikanlah aku kecerdikan dan ketulusan agar aku bisa tetap hidup sebagai murid dan tidak menjadi serigala di tengah kehidupan”.

    (Selesai)

    Salam
    Pdt. Rinto Tampubolon

    Selamat siang, selamat liburan, selamat bersantai. Sambil santai di siang hari ini, perkenankan saya mengirim lanjutan cerita bermain layangan. Selamat membaca.😊

    Ada tiga keahlian dasar yang diperlukan untuk dapat bermain layangan. Pertama, MEMBUAT TALI KAMAH LAYANGAN.

    Tali kamah adalah teknik membuat tali pada layang layang. Caranya terlihat sederhana, mengikatkan satu ujung tali pada dua titik lubang secara bersilang di rangka atas dan ujung satunya pada rangka kayu dibawahnya. Tantangannya baru muncul pada saat kita membuat ikatan kedua ujung tali di titik tertentu untuk untuk disambungkan ke benang layangan. Disinilah tekniknya, terlalu pendek atau terlalu panjang ikatan akan membuat layangan sebagus apapun tidak akan bisa terbang. Kita harus mencari TITIK KESEIMBANGAN. Kalau hanya mengikat tali saja mudah, tetapi mengikat kedua tali pada titik yang tepat itu yang diperlukan supaya layang layang bisa mengudara dengan baik.

    Keahlian ke dua adalah MENYAMBUNG TALI. Tali layangan yang dijual memiliki batas panjangnya. Jika kita ingin layangan jauh lebih tinggi maka tali harus disambung dengan tali berikutnya. Menyambung tali pun membutuhkan keahlian, karena kalau tidak diikat dengan benar maka ia bisa putus ketika menghadapi tekanan angin. Kalau sambungannya tidak rapih, maka ia bisa menyebabkan benang menjadi kusut. Terlebih lagi kalau dua benang yang disambung punya tipikal yang berbeda. Teknik menyambung itu harus dipelajari anak anak supaya layangan bisa lebih tinggi terbangnya. Tanpa keahlian itu melihat layangan terbang lebih tinggi hanyalah mimpi.

    Tehnik ketiga: TARIK DAN ULUR. Ini adalah tehnik untuk mengendalikan angin dan menjaga keseimbangan layangan. Ketika angin kencang maka seorang anak harus tahu apakah ia harus mengulur atau menarik layangannya. Salah dalam mengambil keputusan dapat mengakibatkan layangan itu putus atau nyungsep. Lalu dari mana si anak tahu layangan sedang menghadapi angin besar atau kecil di atas? Dia merasakan lewat jarinya yang terhubung pada benang. Si anak harus terus melatih kepekaan inderanya, sehingga sekalipun ia jauh dari layangannya, ia tetap bisa tahu apa yang sedang dihadapi layangannya dan keputusan apa yang perlu diambilnya dari jauh.

    Tiga tehnik dasar bermain layangan rupaya juga termasuk life skill kehidupan yaitu:

    Bagaimana cara mengikat dua hal pada titik kesatuan yang menyatukan dan memberi keseimbangan untuk membuat sesuatu berfungsi baik.

    Bagaimana pentingnya kemampuan untuk menyambungkan dua hal yang berbeda untuk memperluas dan mengembangkan jangkauan.

    Bagaimana mengambil keputusan yang tepat dengan menggunakan pengetahuan dan insting secara bersamaan.

    Apakah ketiga life skill tersebut hanya berguna untuk bermain layangan? Bisakah digunakan untuk kehidupan pelayanan berkomunitas di gereja, kehidupan pernikahan dan keluarga, pekerjaan dan bisnis usaha?

    Dari ketiga life skill tersebut mana yang saudara miliki? Bagaimana menurut saudara?

    Salam

    Pdt. Rinto Tampubolon

    Waktu masih kecil saya suka bermain layangan. Saya biasa menaikkan layangan di lapangan dekat rumah. Saking seringnya bermain layangan kulit pun menjadi hitam legam dan kumel.

    Bermain layangan itu punya banyak nilai yang bisa dipelajari. Nilai BERKOMUNITAS, misalnya. Keseruan bermain layangan justru ketika bermain layangan bersama teman teman. Bermain layangan sendirian itu membosankan. Tidak seru! Aneh rasanya bermain sendirian di lapangan.

    Anak anak tahu akan prinsip komunitas tersebut. Bermain bersama dengan yang lain lebih seru daripada bermain sendirian. Karena itu, waktu yang paling baik bermain layangan adalah menjelang sore, karena itulah waktu komunitas, di mana ada banyak anak anak berkumpul dan bermain bersama. Ketika waktu itu tiba, tanpa dikomando kami semua segera berkumpul ke lapangan. Inilah hebatnya kesadaran alami akan berkomunitas yang tumbuh pada kami di masa kanak kanak. Kami bergerak, berkumpul, tanpa perlu digerakkan dan dikumpulkan.

    Kami juga belajar secara alami bagaimana HIDUP DALAM PRINSIP NILAI YANG SUDAH ADA. Ada prinsip yang tidak tertulis tetapi disepakati bersama dan diajarkan kepada para pemain layangan baru. Kami tahu bahwa jika sebuah layangan memakai buntut di bawahnya, maka layangan itu jangan diganggu. Tanda buntut pada layangan menunjukkan bahwa orang tersebut hanya ingin bermain layangan saja bukan untuk mengadu layangan. Prinsip ini dipegang oleh anak anak. Ketika ada yang hendak iseng melanggar prinsip itu, maka komunitas anak anak akan mengingatkan dia untuk menghargai nilai prinsip bersama yang baik. Begitulah cara kami anak anak saling menjaga komunitas layangannya. Kebersamaan di lapangan sekalipun tetap memiliki nilai prinsip yang perlu dijaga bersama sama.

    Kenangan bermain layangan itu menghubungkan pikiran saya pada gereja. Seandainya gereja adalah gambaran lapangan tempat anak anak berkomunitas, maka nilai yang dihidupi anak anak yang bermain layangan tampaknya juga baik untuk dimiliki setiap anggota jemaat. Sehingga waktu BERKOMUNITAS adalah waktu yang ditunggu oleh setiap orang dan komunitas gereja menjadi tempat setiap pribadi saling diteguhkan dan diingatkan untuk tetap hidup berpegang pada nilai nilai prinsip iman kristiani kita.

    O yah, malam ini, Selasa, tanggal 21 Maret 2021, pukul 19.30 wib, di wilayah masing masing, kita ada Growing In Community, mari kita kumpul “main layangan” bersama.

    (Bersambung)

    Pdt. Rinto Tampubolon

    Open chat
    Shallom,
    Selamat datang di website GKI Taman Aries, kami Admin GKI TA siap melayani Bapak/Ibu/Sdr/i.
    Silakan tekan tombol Open Chat untuk melanjutkan chat via Whatsapp dengan Admin